Notice: Only variables should be passed by reference in /home/u636490992/domains/lpmjournal.id/public_html/wp-content/themes/15zine/option-tree/ot-loader.php on line 329
Pahlawan Tak Berjubah – LPM Journal

Oleh: Anis Kemala Mardiana

Jam menunjukan pukul 06.00 pagi. Rasanya aku sangat malas untuk melakukan hal apapun, termasuk bangun dari tempat tidurku. Mengapa hari cepat sekali berlalu?. Rasanya baru kemarin aku terlahir. Sekarang aku harus kehilangan orang tuaku dan memulai hidup baru tanpa mereka di sampingku.

Namaku Latif Raka Atmaja, panggil saja aku Raka. Aku tinggal di sebuah desa kecil bersama Paman dan Bibi setelah orang tuaku meninggal beberapa hari yang lalu. Mereka merawatku dengan baik seperti anak mereka sendiri. Hanya saja aku tetap tidak nyaman berada di desa ini.

Setiap Minggu pagi aku harus mencium asap rokok yang bersumber dari segerombolan orang-orang yang bermain kartu di depan halaman rumahku. Mereka memang libur bekerja begitu juga denganku yang libur sekolah. Namun apa tak ada hal yang bisa mereka lakukan selain bermain dengan kartu-kartu remi itu seharian?

Belum lagi setiap malamnya aku harus mencium bau alkohol dan minuman keras yang menyengat penciumanku. Meskipun pemerintah sudah melarang untuk mempergunakan benda-benda seperti itu. Namun rasanya hal itu tidak berlaku di desa ini.

“Raka, ayo makan, bibi sudah buatkan makanan kesukaanmu” panggil Bibi dari ruang makan

“Iya Bi, sebentar” sahutku dengan berjalan sedikit berlari menghampiri ruang makan

Terlihat beberapa makanan yang sudah tertata rapi di atas meja makan. Pandanganku tertuju pada satu makanan yang memang sangat aku gemari, Soto ayam. Bibi mengambilkanku sepiring nasi dan senyiramnya dengan kuah soto dan potongan ayam. Aroma soto tercium begitu nikmat.

Aku memakannya dengan sangat lahap, beberapa waktu kemudian Paman datang untuk ikut bergabung makan dengan kami. Paman duduk persis di sebelahku dengan memegang puntung rokok, menghisap lalu meniupnya ke udara. Hal ini membuat selera makanku hilang.

“Paman, bisa padamkan api rokoknya? Makanan Bibi sangat enak sekali. Cobalah nikmati, ini lebih enak dari rokok yang paman hisap itu” Tanyaku ramah, berharap Paman tidak akan tersinggung dengan pertanyaanku tadi.

Paman mengerutkan keningnya seakan-akan heran dengan pertanyaanku tadi. Paman menyodorkan sebungkus rokok ke arahku

“Jangan katakan jika kamu tidak pernah merokok? Ini ambilah”

“Ha? Aku memang tidak merokok paman”Jawabku sedikit heran dengan pertanyaan Paman

“Kamu itu laki-laki. Laki-laki sejati itu biasanya merokok. Rokok itu tanda bahwa kita itu berani” Bujuk Paman

“Berani? Berani mati maksudnya?” Tanyaku spontan.

“Apa maksud pertanyaanmu? Coba pikir baik-baik merokok atau tidak itu sama saja, sama-sama mati kan? Memang kalau tidak merokok bisa hidup selamanya? Enggak kan? Hidup itu dinikmati saja” Jawab Paman dengan nada agak tinggi

Aku tidak meneruskan makanku, aku memutuskan untuk pergi mencari udara segar. Aku hanya tidak ingin terus berdebat dengan Paman. Desa ini sungguh aneh. Di sepanjang jalan aku melihat perempuan, laki-laki, tua maupun muda sama saja memegang rokok. Bahkan tak sedikit dari mereka memegang botol minuman keras, dan obat-obatan.

Suasana di luar tidak membuatku nyaman. Aku memutuskan untuk kembali ke rumah. Mungkin ada beberapa hal yang dapat aku lakukan di rumah, seperti membantu Bibi menyelesaikan pekerjaan rumahnya.

Begitu aku sampai di rumah, aku langsung ke dapur menemui bibi yang sedang membersihkan dapur. Entah mengapa aku jadi ingin tahu tentang desa ini lebih mendalam. Menurutku ini desa yang aneh. Atau mungkin aku yang aneh? Aku menghampiri Bibi dan menanyakan tentang semua tanda tanya dalam pikiranku mengenai desa ini.

“Bi, kenapa sih Bi, hampir semua orang di desa ini menggunakan obat-obatan, miras dan rokok?” Tanyaku sangat penasaran. Bibi menggandeng tanganku dan menariknya menuju ruang tamu.

“Duduklah, aku akan menceritakan semuanya” Bibi dan Aku duduk di kursi kayu yang berada diruang tamu, dan bibi mulai menceritakan apa yang menjadi pertanyaanku itu. “Ini bermula saat ada pemuda asing datang ke desa ini dan memberikan kami benda-benda itu. Dari sanalah kami mulai kecanduan, dan menggunakannya secara terus-menerus hingga sekarang. Benda-benda itu memang bisa menenangkan ketika kami ada masalah”

“Tapi kenapa aku tidak pernah melihat bibi memegang rokok maupun benda-benda itu?” Tanyaku terheran-heran.

“Bibi sakit, Kata dokter rahim Bibi sudah terjadi peradangan serius, makanya bibi berusaha berhenti memakai benda-benda itu”

“Lalu jika sudah tau akibatnya kenapa Paman dan warga yang lain masih menggunakan benda-benda itu Bi?”

“Pemikiran setiap orang berbeda Raka, kamu dengar apa yang pamanmu bilang tadi? Pake nggak pake sama saja mati kan? Hidup kami pasrah semenjak kami kecanduan benda-benda itu” Bibi menghela napas dan menundukkan kepalanya. Seakan dia menyesal dengan semua yang telah terjadi.
“Bibi sabar ya, pasti ada jalan untuk menghentikan ini semua” Kataku sambil memeluk Bibi.

“Semoga khayalanmu menjadi nyata Nak” Jawab Bibi dengan nada sedu, mungkin beliau berfikir bahwa itu adalah suatu hal yang mustahil terjadi.

Setelah lama bercengkrama dengan Bibi, aku memutuskan untuk beristirahat. Semua cerita bibi membuat kepalaku berdenyut keras. Aku tak habis pikir kejadian semacam ini dapat terjadi. Lama kelamaan negara ini menjadi paham liberalis kalau satu persatu desanya tidak mau menaati aturan pemerintah, apa lagi aturan Tuhan?

Entah mengapa tiba-tiba aku teringat Almarhum Ayah dan Ibu. Mereka mengajariku banyak hal. Aku bersyukur terlahir dari keluarga yang sangat baik. Seandainya mereka masih ada. Aku tidak akan berada di tempat ini. Aku membuka album-album foto keluarga, Hal yang sama setiap kali aku merindukan mereka.

Satu foto manis ketika aku masih kecil. Saat pertama aku memakai baju supermen dan jubah bersayap. Ibu memelukku dan berkata “Raka, Super Hero sejati itu bukan orang yang bisa terbang dengan jubah sayapnya, bukan juga orang yang bertopeng dan berbadan kekar. Super Hero adalah seseorang yang berhati mulia, yang berani membela kebenaran. Dan berani berjuang mempertaruhkan apa yang dimilikinya untuk menyelamatkan banyak orang. Dia tidak pernah takut bahkan jika berjuang seorang diri sekalipun. Karena dia tau apa yang dilakukannya adalah benar”

Kata-kata Ibu masih sangat jelas ku ingat. Benar kata Ibu. Jika berlarut-larut seperti ini dampaknya akan sangat buruk untuk desa ini, bahkan untuk negara ini. Sudah seharusnya aku melakukan apa yang seharusnya kulakukan. Harus ada perubahan. Dan Perubahan akan terjadi jika ada yang memulainya.

Aku meminta izin Bibi untuk pergi keluar. Aku harus melakukan sesuatu. Dengan semangat menggebu-gebu aku menaiki sepeda mencari apa yang bisa dibenahi. Dan syukurlah aku bertemu dengan seseorang berseragam polisi. Yang ternyata adalah tetanggaku sendiri. Aku ingin melaporkan semuanya. Mungkin mereka dapat membantu.

“Permisi Pak, saya ingin melaporkan, bahwa di desa kita ini banyak sekali perjudian, obat-obatan, dan minuman keras. Hal ini sangat menggagu kenyamanan” Laporku dengan penuh keyakinan dan keberanian

Dan betapa kagetnya aku, polisi itu malah menertawaiku sangat kencang. Memangnya apa yang salah?

“Haha, Hei anak muda, kembalilah ke rumah, jangan kau urusi mereka. Mereka tidak akan mengganggu kenyamanan siapapun. Satu desa ini semuanya berperilaku seperti itu. Jadi siapa yang dirugikan? Tidak ada karna mereka itu sama. Mengerti? Kembalilah belajar di rumah” Jawab polisi itu dengan nada meremehkan

Ya Tuhan ini aneh, benar-benar aneh. Aku harus ke mana lagi? Baiklah coba ke rumah kepala desa. Mungkin beliau bisa membantu.

“Tok tok tok, permisi.. assalamualaikum..”

“Waalaikumsalam, silakan masuk” Pak Kades mempersilakan aku masuk dan duduk di kursi ruang tamu. “ada apa Nak?”

“Begini Pak, saya ingin melaporkan bahwa di desa ini marak terjadi perjudian, obat-obatan dan minuman keras”

Respon Pak Kadespun tidak jauh berbeda dengan polisi tadi. Beliau menertawaiku sangat keras. Ya Tuhan Memang kenapa? Aku memang masih 17 tahun. Memangnya salah jika anak seumuranku melapor? Apa aku masih terlihat seperti anak kecil yang bermain-main dengan ucapannya?

“Hahaha, kau ini sangat lucu sekali, bukankah itu memang sudah lama terjadi? Kenapa kau begitu heran. Nikmati saja hidup. Pemuda sepertimu pasti juga ingin mencari jati diri” Kata Pak Kades dengan santainya.

Tiba-tiba “Pyaaaar” terdengar suara pecahan kaca dari dalam rumah Pak Kades. Kamipun terkaget dan segera berlari kesumber suara. Disana terlihat anak Pak Kades tergeletak dengan mulut berbusa, dia masih berusia 2 tahun mungkin tak sengaja meminum minuman keras yang dia kira itu air teh.

Pak Kades menyuruhku untuk pulang saja. Karna beliau cepat-cepat ingin mengantarkan anaknya ke rumah sakit sebelum terlambat. Beliau tampak sangat cemas melihat kondisi anaknya.

Akupun segera meraih sepedaku dan mengayuhnya untuk pulang ke rumah. Di tengah jalan aku melihat beberapa orang berbaju hitam dan berbadan kekar menghampiri rumah salah seorang tetanggaku. Aku menghampiri mereka untuk bertanya.

“Permisi Buk, maaf ada apa ya?”

“Rumah Kami disita bank. Karna tidak sanggup membayar hutang pada bank. Kami harus tinggal di mana?” Jawabnya dengan menangis sedu

“Ibu bisa tinggal dirumah Paman saya, nanti saya akan minta izin. Kalau boleh tau, kenapa sampai harus meminjam uang di bank? Mamangnya ada perlu apa?”

“Kami pikir uang kami bisa kembali berlipat ganda dengan menjudikannya” Jawabnya dengan nada lirih, air matanya masih mengalir, bahkan semakin menjadi-jadi

“Ha? Dibuat judi? Dibuat modal usahakan bisa Bu, kenapa harus dibuat judi? Ya sudahlah Bu, nanti saya tanyakan Paman saya. Kalau boleh ibu bisa menumpang tinggal”

“Makasih Nak”

“Iya Bu, permisi”

Entah kenapa firasatku jadi tidak enak. Aku segera mengayuh sepeda dengan sangat cepat menuju rumah. Aku benar-benar khawatir dengan keadaan bibi. Ya Tuhan, Semoga ini hanya firasatku saja.

“Bi… Bibi..” Teriakku memanggil bibi.

Dan ternyata firasatku benar. Paman menggendong bibi yang pingsan, dihidungnya keluar darah. Paman cepat-cepat membawa bibi ke Rumah Sakit untuk mendapatkan perawatan. Kebetulan rumah sakitnya tidak terlalu jauh dari rumah. Jadi Paman langsung berlari ke Rumah Sakit.

Sementara bibi di UGD aku berusaha berbicara lagi dengan Paman. Semoga dengan kejadian ini mata hati Paman bisa sedikit terbuka, dan mau menerima masukanku.

“Paman, Paman sayang tidak pada Bibi?” Tanyaku agak pelan

“Tentu, Dia perempuan yang sangat baik. Meskipun kami belum memiliki keturunan tapi aku tetap menyayanginya” Jawab paman dengan mata berkaca-kaca. Aku seakan dapat merasakan apa yang Paman rasakan dari melihat wajahnya.

“Paman ingin hal yang lebih buruk terjadi pada bibi? Jika tidak ku mohon hentikan perjudian, pemakaian obat-obatan, miras dan rokok, untuk kesembuhan Bibi, tolong” Pintaku dengan nada lirih

“Jika itu dapat menolong bibimu, maka akan ku lakukan” Kata paman menyanggupi keinginanku

“Tapi Paman saja tidak cukup, bibi perlu udara yang bersih tempat yang nyaman. Aku ingin semua warga berhenti untuk menggunakan barang-barang itu”

“Bagaimana caranya?”

“Kumpulkan saja beberapa warga, serta pejabat-pejabat desa. Aku ingin berbicara pada mereka, sekarang”

“Pergilah ke balai desa. Aku akan menemuimu bersama warga desa dan pejabat desa” Paman mengambil ponselnya dan berusaha menghubungi beberapa orang untuk rapat dibalai desa.

Kursi balai desa terlihat sangat penuh dengan warga desa, dan pejabat-pejabat desa. Pak Kades juga datang. Hari ini desa ini harus menemui takdirnya untuk melakukan perubahan.

Aku memberanikan diri untuk berbicara di depan umum, menyampaikan apa yang seharusnya kusampaikan.

“Sodara-sodara saya memang belum dewasa namun cobalah mendengar apa yang orang itu ucapkan. Bukan mendengar siapa yang mengucapkan. Apa kalian tega melihat orang-orang yang kelian sayang meninggal satu persatu karna minuman keras dan obat-obatan. Apa kalian tega jika anak-anak kalian terlantar tanpa rumah karna judi. Apa setega itu kalian membunuh keluarga kalian sendiri? Jika kalian masih memiliki rasa sayang. Mari kita bersama memusnahkan segala bentuk perjudian dan obat-obatan terlarang, siapa yang setuju dengan saya?”

Suasana terlihat sangat sunyi tanpa seorangpun menjawab. Lalu Pamanku berdiri dan berkata “Saya” dilanjutakan Pak Kades dan warga lain semua mendukung. Dan akhirnya semua suara bersatu untuk memusnahkan semua benda-benda itu.

“Kami sayang keluarga kami. Kami berhenti menggunakan benda-benda haram itu lagi”

Warga bergotong royong untuk mengumpulkan semua benda-benda itu dan menghancurkannya dalam satu tempat. Begitupun warung-warung yang menjual benda-benda itu juga rela barang daganganya dihancurkan. Kini desa ini telah lahir menjadi desa baru yang lebih baik.

Percayalah pada dirimu sendiri. Tidak perlu mengikuti arus air jika dirasa itu adalah kesalahan. Aku bukan pahlawan dengan jubah megah dan topeng mengkilat. Aku hanya seorang remaja yang menginginkan perubahan dengan mendobrak kebiasaan. Aku tidak ingin pujian. Aku hanya ingin kelak melihat desa ini lebih berwarna dengan semangat hidup baru dan membuat orang tuaku disurga bangga melihat anaknya dapat berguna untuk orang lain.

No more articles